Friday, July 17, 2009

KEPUTUSAN YANG BULAT (29)

Kuyakinkan Len akan segala galanya. Kuyakinkan bahwa kabar fitnah itu hanya karena rasa iri orang lain yang akan memisahkan kami. Kukatakan bahwa aku akan membelanya apapun yang akan terjadi. Akan kami bangun rumah tangga bahagia dengan cinta dan semangat yang kami miliki. Aku bahkan mengatakan bahwa aku tidak ingin tinggal di kotaku. Saya disana hanya karena menjaga orang tua yang sudah tua. Bila mereka telah tiada, aku akan ke Jakarta. Aku akan membawanya. Kurasa, kalau tentang kehidupanku dan pekerjaanku, tak banyak yang kusampaikan padanya. Aku yakin ia hanya berpihak pada kecocokan kepribadianku, rasa cintanya padaku, rindunya bila tak bersamaku, rasa kagumnya, atau juga karena Tuhan memang menciptakannya hanya untukku. Akhirnya pada malam itu, kami telah mengambil keputusan sebulat bulatnya. Kami akan pergi esok harinya untuk kawin lari. Aku akan memetik bunga melatiku tanpa sepengetahuan empunya. Malam ini, di ruang tamu rumahnya, kami mengikat janji untuk hidup bersama. Len akan kubawa kemanapun aku pergi. Mungkin inilah malam terakhir kalinya ia tertidur di bawah atap rumah orang tuanya. Kami telah berjanji untuk bertemu besok sore. Len telah bersedia menjadi milikku untuk selama lamanya. Begitu juga sebaliknya, akupun akan menjadi miliknya. Besok kami akan melangkahkan kaki untuk hidup bersama dalam suka dan duka. Aku akan datang besok untuk menjemputnya. Membawanya pergi walau kedua orang Len tak merestui kami.
Di pertemuan yang amat menentukan ini, aku masih sempat memperhatikan Wajah ibu Len. Ia memang tetap nampak berdua hati. Di satu sisi ia memang merasa keberatan dengan kehadiranku, tapi di satu sisi ia nampak merasa tidak mampu lagi untuk memisahkan kami lagi. Sebab ia pasti mengerti perasaan anaknya. Ia pasti tahu bahwa Len sangat bahagia bila bersamaku. Itulah pendapat calon ibu mertuaku menurut dugaanku.
Begitu serius pembicaraan kami di malam ini. Hingga tak terasa sudah lebih dari tiga jam kami membahas masa depan kami. Lalu tepat jam 11.30 malam itu, akupun mulai berencana pulang. Kujabat tangan lembut kekasihku yang akan jadi pendamping kehidupanku. Kukecup keningnya dengan mesra, dan akupun pamit dan pergi bersama temanku Cudin.
By writer of Hajji Book:
40 Hari Di Tanah Suci
Thank you

No comments:

Post a Comment